Friday, December 31

MEMBANGUN KOPERASI BERBASIS ANGGOTA DALAM RANGKA PENGEMBANGAN EKONOMI RAKYAT


Setelah melalui berbagai kebijakan pengembangan koperasi pada masa Orde Baru yang bias pada dominasi peran pemerintah, serta kondisi krisis ekonomi yang melanda Indonesia, timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya peran koperasi dalam masyarakat Indonesia, bagaimana prospeknya dan bagaimana strategi pengembangan yang harus dilakukan pada masa yang akan datang. Melihat sifat dan kondisi krisis ekonomi saat ini serta berbagai pemikiran mengenai usaha untuk dapat keluar dari krisis tersebut, maka koperasi dipandang memiliki arti yang strategis pada masa yang akan datang.

a. KONDISI KOPERASI (PERBANDINGAN KUD DAN KOPERASI KREDIT/KOPDIT)
Keberadaan beberapa koperasi telah dirasakan peran dan manfaatnya bagi masyarakat, walaupun derajat dan intensitasnya berbeda.  Setidaknya terdapat tiga tingkat bentuk eksistensi koperasi bagi masyarakat (PSP-IPB, 1999) : 
Pertama, koperasi dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat.  Kegiatan usaha dimaksud dapat berupa pelayanan kebutuhan keuangan atau perkreditan, atau kegiatan pemasaran, atau kegiatan lain.  Pada tingkatan ini biasanya koperasi penyediakan pelayanan kegiatan usaha yang tidak diberikan oleh lembaga usaha lain atau lembaga usaha lain tidak dapat melaksanakannya akibat adanya hambatan peraturan.  Peran koperasi ini juga terjadi jika pelanggan memang tidak memiliki aksesibilitas pada pelayanan dari bentuk lembaga lain.  Hal ini dapat dilihat pada peran beberapa Koperasi Kredit dalam menyediaan dana yang relatif mudah bagi anggotanya dibandingkan dengan prosedur yang harus ditempuh untuk memperoleh dana dari bank.  Juga dapat dilihat pada beberapa daerah yang dimana aspek geografis menjadi kendala bagi masyarakat untuk menikmati pelayanan dari lembaga selain koperasi yang berada di wilayahnya.
Kedua,  koperasi telah menjadi alternatif bagi lembaga usaha lain.  Pada kondisi ini masyarakat telah merasakan bahwa manfaat dan peran koperasi lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain.  Keterlibatan anggota (atau juga bukan anggota) dengan koperasi adalah karena pertimbangan rasional yang melihat koperasi mampu memberikan pelayanan yang lebih baik. Koperasi yang telah berada pada kondisi ini dinilai berada pada ‘tingkat’ yang lebih tinggi dilihat dari perannya bagi masyarakat.  Beberapa KUD untuk beberapa kegiatan usaha tertentu diidentifikasikan mampu memberi manfaat dan peran yang memang lebih baik dibandingkan dengan lembaga usaha lain, demikian pula dengan Koperasi Kredit. 
Ketiga, koperasi menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya.  Rasa memilki ini dinilai telah menjadi faktor utama yang menyebabkan koperasi mampu bertahan pada berbagai kondisi sulit, yaitu dengan mengandalkan loyalitas anggota dan kesediaan anggota untuk bersama-sama koperasi menghadapi kesulitan tersebut.  Sebagai ilustrasi, saat kondisi perbankan menjadi tidak menentu dengan tingkat bunga yang sangat tinggi, loyalitas anggota Kopdit membuat anggota tersebut tidak memindahkan dana yang ada di koperasi ke bank.  Pertimbangannya adalah bahwa keterkaitan dengan Kopdit telah berjalan lama, telah diketahui kemampuannya melayani, merupakan organisasi ‘milik’ anggota, dan ketidak-pastian dari dayatarik bunga bank.  Berdasarkan ketiga kondisi diatas, maka wujud peran yang diharapkan sebenarnya adalah agar koperasi dapat menjadi organisasi milik anggota sekaligus mampu menjadi alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain.
Namun diantara peran dan manfaat koperasi diatas, ternyata lebih banyak lagi koperasi, terutama KUD, yang tidak mendapatkan apresiasi dari masyarakat karena berbagai faktor.  Faktor utamanya adalah ketidak mampuan koperasi menjalankan fungsi sebagai mana yang ‘dijanjikan’, serta banyak melakukan penyimpangan atau kegiatan lain yang mengecewakan masyarakat.  Kondisi ini telah menjadi sumber citra buruk koperasi secara keseluruhan.
Pada masa yang akan datang, masyarakat masih membutuhkan layanan usaha koperasi.  Alasan utama kebutuhkan tersebut adalah dasar pemikiran ekonomi dalam konsep pendirian koperasi, seperti untuk meningkatkan kekuatan penawaran (bargaining positition), peningkatan skala usaha bersama, pengadaan pelayanan yang selama ini tidak ada, serta pengembangan kegiatan lanjutan (pengolahan, pemasaran, dan sebagainya) dari kegiatan anggota.  Alasan lain adalah karena adanya peluang untuk mengembangkan potensi usaha tertentu (yang tidak berkaitan dengan usaha anggota) atau karena memanfaatkan fasilitas yang disediakan pihak lain (pemerintah) yang mensyaratkan kelembagaan koperasi, sebagaimana bentuk praktek pengembangan koperasi yang telah dilakukan selama ini.  Namun alasan lain yang sebenarnya juga sangat potensial sebagai sumber perkembangan koperasi, seperti alasan untuk memperjuangkan semangat kerakyatan, demokratisasi, atau alasan sosial politik lain, tampaknya belum menjadi faktor yang dominan.
Alasan kebutuhan awal atas keberadaan koperasi tersebut sangat dipengaruhi oleh pola hubungan koperasi dan anggota serta masyarakat yang didominasi pola hubungan bisnis.  Hal ini sangat terlihat dalam pola hubungan koperasi dan anggota di KUD.  Akibatnya sering terjadi “koperasi yang tidak berkoperasi”  atau dikenal pula sebagai “koperasi pengurus” dan “koperasi investor” karena koperasi dan anggota menjadi entitas yang berbeda, melakukan transaksi satu dengan lainnya, bahkan tidak jarang saling berbeda kepentingan : pengurus dan ‘investor’ disatu pihak, anggota dipihak lainnya.
Dari beberapa perkembangan Kopdit terlihat bahwa pola hubungan koperasi dan anggota yang sesuai dengan prinsip dasar koperasi memang membutuhkan proses.  Namun jika kesadaran keanggotaan (yang membedakan seorang anggota dengan yang bukan anggota) telah berhasil ditumbuhkan maka kesadaran tersebut akan menjadi dasar motivasi dimana pola hubungan bisnis dapat berkesinambungan melalui partisipasi yang kemudian berkembang menjadi loyalitas.  Pola yang tidak hanya  ‘hubungan bisnis’ tersebut kemudian akan menjadi sumber kekuatan koperasi.  Hal ini ditunjukkan oleh beberapa Kopdit, dimana jika dalam masa krisis banyak KUD dan lembaga usaha lain gulung tikar beberapa Kopdit justru menunjukkan peningkatan kinerja baik dilihat dari omset, SHU, dan jumlah anggota.

b.
FAKTOR FUNDAMENTAL EKSISTENSI DAN PERAN KOPERASI
Berdasarkan pengamatan atas banyak koperasi serta menggali aspirasi berbagai pihak yang terkait dengan perkembangan koperasi, khususnya para partisipan koperasi sendiri, yaitu anggota dan pengurus, maka dapat disintesakan beberapa faktor fundamental yang menjadi dasar eksistensi dan peran koperasi dimasyarakat. Faktor-faktor berikut merupakan faktor pembeda antara koperasi yang tetap eksis dan berkembang dengan koperasi-koperasi yang telah tidak berfungsi bahkan telah tutup. 
1. Koperasi akan eksis jika terdapat kebutuhan kolektif untuk memperbaiki ekonomi secara mandiri. 
Masyarakat yang sadar akan kebutuhannya untuk memperbaiki diri, meningkatkan kesejahteraanya, atau mengembangkan diri secara mandiri merupakan prasyarat bagi keberdaan koperasi.  Kesadaran ini akan menjadi motivasi utama bagi pendirian koperasi ‘dari bawah’ atau  secara ‘bottom-up’.  Faktor kuncinya adalah kesadaran kolektif dan kemandirian.  Dengan demikian masyarakat tersebut harus pula memahami kemampuan yang ada pada diri mereka sendiri sebagai ‘modal’ awal untuk mengembangkan diri.  Faktor eksternal dapat diperlakukan sebagai penunjang atau komplemen bagi kemampuan sendiri tersebut.
2.  Koperasi akan berkembang jika terdapat kebebasan (independensi) dan otonomi untuk berorganisasi. 
Koperasi pada dasarnya merupakan suatu cita-cita yang diwujudkan dalam bentuk prinsip-prinsip dasar.  Wujud praktisnya, termasuk struktur organisasinya, sangat ditentukan oleh karakteristik lokal dan anggotanya.  Dengan demikian format organisasi tersebut akan mencari bentuk dalam suatu proses perkembangan sedemikian sehingga akhirnya akan diperoleh struktur organisasi, termasuk kegiatan yang akan dilakukannya, yang paling sesuai dengan kebutuhan anggota.  Pengalaman pengembangan KUD dengan format yang seragam justru telah menimbulkan ketergantungan yang tinggi terhadap berbagai faktor eksternal, sedangkan KUD yang berhasil bertahan justru adalah KUD yang mampu secara kreatiif dan sesuai dengan kebutuhan anggota dan masyarakat mengembangkan organisasi dan kegiatannya.
3. Keberadaan koperasi akan ditentukan oleh proses pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi. 
Faktor pembeda koperasi dengan lembaga usaha lain adalah bahwa dalam koperasi terdapat nilai-nilai dan prinsip yang tidak terdapat atau tidak dikembangkan secara sadar dalam organisasi lain.  Oleh sebab itu pemahaman atas nilai-nilaI koperasi : keterbukaan, demokrasi, partisipasi, kemandirian, kerjasama, pendidikan, dan kepedulian pada masyarakat; seharusnya merupakan pilar utama dalam perkembangan suatu koperasi. Pada gilirannya kemudian nilai dan prinsip itulah yang akan menjadi faktor penentu keberhasilan koperasi.  Sehingga salah satu faktor fundamental bagi keberadaan koperasi ternyata adalah jika nilai dan prinsip koperasi tersebut dapat dipahami dan diwujudkan dalam kegiatan organisasi. Disadari sepenuhnya bahwa pemahaman nilai-nilai tersebut tidak dapat terjadi dalam “semalam”, tetapi melalui suatu proses pengembangan yang berkesinambungan setahap demi setahap terutama dilakukan melalui pendidikan dan sosialisasi dengan tetap memberikan tempat bagi perkembangan aspirasi lokal yang spesifik menyangkut implementasi bahkan pengayaan (enrichment) dari nilai-nilai koperasi yang universal tersebut.  Dengan demikian proses pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi akan menjadi salah satu faktor penentu keberadaan koperasi.
4.  Koperasi akan semakin dirasakan peran dan manfaatnya bagi anggota dan masyarakat pada umumnya jika terdapat kesadaran dan kejelasan dalam hal keanggotaan koperasi. 
Hal ini secara khusus mengacu pada pemahaman anggota dan masyarakat akan perbedaan hak dan kewajiban serta manfaat yang dapat diperoleh dengan menjadi anggota atau tidak menjadi anggota.  Jika terdapat kejelasan atas keanggotaan koperasi dan manfaat yang akan diterima anggta yang tidak dapat diterima oleh non-anggota maka akan terdapat insentif untuk menjadi anggota koperasi.  Pada gilirannya hal ini kemudian akan menumbuhkan kesadaran kolektif dan loyalitas anggota kepada organisasinya yang kemudian akan menjadi basis kekuatan koperasi itu sendiri.  
5. Koperasi akan eksis jika mampu mengembangkan kegiatan usaha yang :
a. luwes (flexible) sesuai dengan kepentingan anggota,
b. berorientasi pada pemberian pelayanan bagi anggota,
c. berkembang sejalan dengan perkembangan usaha anggota,
d. biaya transaksi antara koperasi dan anggota mampu ditekan lebih kecil dari biaya transaksi non-koperasi, dan
e. mampu mengembangkan modal yang ada didalam kegiatan koperasi dan anggota sendiri. 
Kegiatan usaha yang dikembangkan koperasi pada prinsipnya adalah kegiatan yang berkait dengan kepentingan anggota.  Salah satu indikator utama keberhasilan kegiatan usaha tersebut adalah jika usaha anggota berkembang sejalan dengan perkembangan usaha koperasi.  Oleh sebab itu jenis usaha koperasi tidak dapat diseragamkan untuk setiap koperasi, sebagaimana tidak dapat diseragamkannya pandangan mengenai kondisi masyarakat yang menjadi anggota koperasi.
Biaya transaksi yang ditimbulkan apabila anggota menggunakan koperasi dalam melakukan kegiatan usahanya juga perlu lebih kecil jika dibandingkan dengan tanpa koperasi.  Hal ini akan menjadi penentu apakah keberadaan koperasi dan keanggotaan koperasi memang memberikan manfaat bisnis.  Jika biaya transaksi tersebut memang dapat menjadi insentif bagi keanggotaan koperasi maka produktivitas modal koperasi akan lebih besar dibandingkan lembaga lain.  Langkah selanjutnya yang perlu dikembangkan oleh suatu koperasi adalah agar hasil produktivitas tersebut dapat dipertahankan dalam sistem koperasi.  Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya lembaga koperasi adalah karena nilai lebih dari perputaran modal dalam “sistem” koperasi ternyata lebih banyak diterima oleh lembaga-lembaga diluar koperasi dan anggotanya.  Hal ini memang merupakan salah satu catatan penting yang harus diperhatikan sebagai akibat dari sistem perbankan yang sentralistik seperti yang dianut saat ini. 
Jika koperasi memang telah menyadari pentingnya keterkaitan usaha antara usaha koperasi itu sendiri dengan usaha anggotanya, maka salah satu strategi dasar yang harus dikembangkan oleh koperasi adalah untuk mengembangan kegiatan usaha anggota dan koperasi dalam satu kesatuan pengelolaan.  Hal ini akan berimplikasi pada berbagai indikator keberhasilan usaha koperasi, dimana faktor keberhasilan usaha anggota harus menjadi salah satu indikator utama.
6. Keberadaan koperasi akan sangat ditentukan oleh kesesuaian faktor-faktor tersebut dengan karakteristik masyarakat atau anggotanya.  
Jika dilihat dari kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini, maka dapat dihipotesakan bahwa koperasi dapat tumbuh, berkembang, dan sekaligus juga berperan dan bermanfaat bagi masyarakat yang tengah berkembang dari suatu tradisional dengan ikatan sosiologis yang kuat melalui hubungan emosional primer ke arah masyarakat yang lebih heterogen dan semakin terlibat dengan sistem pasar dan kapital dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, atau yang juga dikenal dengan komunitas ‘bazar-ekonomi’.  Artinya koperasi tidak diharapkan dapat sangat berkembang pada masyarakat yang masih sangat tradisional, subsisten, dan relatif ‘tertutup’ dari dinamika sistem pasar; atau juga pada komunitas yang telah menajdi sangat individualis, dan berorientasi kapital.  Dengan perkataan lain, koperasi tidak diharapkan dapat berkembang optimal disemua bentuk komunitas.  
Sebagai bagian dari identifikasi berbagai faktor fundamental tersebut maka perlu disadari bahwa pemenuhan faktor-faktor tersebut memang dapat bersifat ‘trade-off’ dengan pertimbangan kinerja jangka pendek suatu organisasi usaha konvensional.  Proses yang dilakukan dalam pengembangan koperasi memang membutuhkan waktu yang lebih lama dengan berbagai faktor “non-bisnis” yang kuat pengaruhnya.  Dengan demikian pemenuhan berbagai faktor fundamental tersebut dapat menyebabkan indikator kinerja lain, seperti pertumbuhan bisnis jangka pendek, harus dikorbankan demi untuk memperoleh kepentingan yang lebih mendasar dalam jangka panjang.

c. MENGEMBANGKAN KOPERASI DI INDONESIA: MULAI DARI APA YANG SUDAH ADA
Dalam kondisi sosial dan ekonomi yang sangat diwarnai oleh peranan dunia usaha, maka mau tidak mau peran dan juga kedudukan  koperasi dalam masyarakat akan sangat ditentukan oleh perannya dalam kegiatan usaha (bisnis).   Bahkan peran kegiatan usaha koperasi tersebut kemudian menjadi penentu bagi peran lain, seperti peran koperasi sebagai lembaga sosial.  Isyu strategis pengembangan usaha koperasi dapat dipertajam untuk beberapa hal berikut :
1. Mengembangkan kegiatan usaha koperasi dengan mempertahankan falsafah dan prinsip koperasi. 
Beberapa koperasi pada beberapa bidang usaha sebenarnya telah menunjukkan kinerja usaha yang sangat baik, bahkan telah mampu menjadi pelaku utama dalam bisnis yang bersangkutan.   Misalnya, GKBI yang telah menjadi terbesar untuk usaha batik, Kopti yang telah menjadi terbesar untuk usaha tahu dan tempe, serta banyak KUD yang telah menjadi terbesar kecamatan wilayah kerjanya masing-masing.  Pada koperasi-koperasi tersebut tantangannya adalah untuk dapat terus mengembangkan usahanya dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip perkoperasian Indonesia.  Pada prakteknya, banyak koperasi yang setelah berkembang justru kehilangan jiwa koperasinya.  Dominasi pengurus dalam melaksanakan kegiatan usaha dan koperasi yang membentuk PT (Perseroaan Terbatas) merupakan indikasi kekurang-mampuan koperasi mengembangkan usaha dengan tetap mempertahankan prinsip koperasi.  Jika tidak diantisipasi kondisi ini pada gilirannya akan mengaburkan tujuan pengembangan koperasi itu sendiri.  
2. Keterkaitan kegiatan koperasi dengan kegiatan pelayanan usaha umum. 
Hal yang menonjol adalah dalam interaksi koperasi dengan bank.  Sifat badan usaha koperasi dengan kepemilikan kolektif ternyata banyak tidak berkesesuaian (compatible) dengan berbagai ketentuan bank.  Sehingga akhirnya ‘terpaksa’ dibuat kompromi dengan menjadikan individu (anggota atau pengurus) sebagai penerima layanan bank (contoh : kredit KKPA).  Hal yang sama juga terjadi jika koperasi akan melakukan kontrak usaha dengan lembaga usaha lain.  Kondisi ini berhubungan erat dengan aspek hukum koperasi yang tidak berkembang sepesat badan usaha perorangan.  Disamping itu karakteristik koperasi tampaknya kurang terakomodasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut badan usaha selain undang-undang tentang koperasi sendiri.  Hal ini terlihat misalnya dalam peraturan perundangan tentang perbankan, perpajakan, dan sebagainya.  
3. Mengatasi beberapa permasalahan teknis usaha bagi koperasi kecil untuk  berkembang. 
Koperasi (KUD) sayur di Pangalengan kebingunan pada saat ada permintaan untuk melakukan ekspor tomat ke Singapura: bagaimana mekanisme pembayarannya, bagaimana membuat kontrak yang tepat, dan sebagainya.  Koperasi tersebut juga tidak tahu, atau memang karena tidak ada, dimana atau kepada siapa harus bertanya.  Hal yang sama juga dihadapi oleh sebuah koperasi  di Jogjakarta yang kebingungan mencari informasi mengenai teknologi pengemasan bagi produk makanan olahannya. Permasalahan teknis semacam ini telah semakin banyak dihadapi oleh koperasi, dan sangat dirasakan kebutuhan bagi ketersediaan layanan untuk mengantisipasi berbagai permasalahan tersebut.
4. Mengakomodasi keinginan pengusaha kecil untuk melakukan usaha atau mengatasi masalah usaha dengan membentuk koperasi. 
Beberapa pengusaha kecil jamu di daerah Surakarta dan sekitarnya tengah menghadapi kesulitan bahan baku (ginseng) yang pasokannya dimonopoli oleh pengusaha besar.  Para pengusaha tersebut juga masih harus bersaing dengan pabrik jamu besar untuk dapat memperoleh bahan baku tersebut.  Mereka ingin berkoperasi tetapi tidak dengan pola koperasi yang sudah ditentukan oleh pemerintah.  Hal yang sama juga dihadapi oleh pengusaha kecil besi-cor di Bandung untuk mendapatan bahan baku ‘inti-besi’-nya, atau untuk menghadapi pembeli (industri besar) yang sering mempermainkan persyaratan presisi produk yang dihasilkan.  Contoh-contoh diatas memberi gambaran bahwa keinginan dan kebutuhan untuk membentuk koperasi cukup besar, asalkan memang mampu mengakomodasi keinginan dan kebutuhan para pengusaha tersebut.  Kasus serupa cukup banyak terjadi pada berbagai bidang usaha lain di berbagai tempat.  
5. Pengembangan kerjasama usaha antar koperasi.  
Konsentrasi pengembangan usaha koperasi selama ini banyak ditujukan bagi koperasi sebagai satu perusahaan (badan usaha).  Tantangan untuk membangun perekonomian yang kooperatif sesuai amanat konstitusi kiranya dapat dilakukan dengan mengembangan jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi.  Hal ini juga sebenarnya telah menjadi kebutuhan diantara banyak koperasi, karena banyak peluang usaha yang tidak dapat dipenuhi oleh koperasi secara individual.   Jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi, bukan hanya keterkaitan organisasi, potensial untuk dikembangkan antar koperasi primer serta antara primer dan sekunder.  Perlu pula menjadi catatan bahwa di berbagai negara lain, koperasi telah kembali berkembang dan salah satu kunci keberhasilannya adalah spesialisasi kegiatan usaha koperasi dan kerjasama antar koperasi.  Mengenai hubungan koperasi primer dan sekunder di Indonesia, saat ini banyak yang bersifat artifisial karena antara primer dan sekunder sering mengembangkan bisnis yang tidak berkaitan bahkan tidak jarang justru saling bersaing.  
6. Peningkatan kemampuan usaha koperasi pada umumnya. 
Kemampuan usaha koperasi : permodalan, pemasaran, dan manajemen; umumnya masih lemah.  Telah cukup banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut, namun masih sering bersifat parsial, tidak kontinyu, bahkan tidak sesuai dengan kebutuhan.  Pendampingan dalam suatu proses pemberdayaan yang alamiah dan untuk mengembangkan kemampuan dari dalam koperasi sendiri tampaknya lebih  tepat dan dibutuhkan.  
7. Peningkatan Citra Koperasi
Pengembangan kegiatan usaha koperasi tidak dapat dilepaskan dari citra koperasi di masyarakat.  Harus diakui bahwa citra koperasi belum, atau sudah tidak, seperti yang diharapkan.  Masyarakat umumnya memiliki kesan yang tidak selalu positif terhadap koperasi.  Koperasi banyak diasosiasikan dengan organisasi usaha yang penuh dengan ketidak-jelasan, tidak profesional, Ketua Untung Dulu, justru mempersulit kegiatan usaha anggota (karena berbagai persyaratan), banyak mendapat campur tangan pemerintah, dan sebagainya.  Di media massa, berika negatif tentang koperasi tiga kali lebih banyak dari pada berita positifnya (PSP-IPB, 1995); berita dari para pejabat dua kali lebih banyak dari berita yang bersumber langsung dari koperasi, padahal prestasi koperasi diberbagai daerah cukup banyak dan berarti.    Citra koperasi tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi hubungan koperasi dengan pelaku usaha lain, maupun perkembangan koperasi itu sendiri.  Bahkan citra koperasi yang kurang ‘pas’ tersebut juga turut mempengaruhi pandangan mereka yang terlibat di koperasi, sehingga menggantungkan diri dan mencari peluang dalam hubungannya dengan kegiatan pemerintah justru dipandang sebagai hal yang wajar bahkan sebagai sesuatu yang ‘sudah seharusnya’ demikan.   Memperbaiki dan meningkatkan citra koperasi secara umum merupakan salah satu tantangan yang harus segera mendapat perhatian.  
8. Penyaluran Aspirasi Koperasi
Para pengusaha umumnya memiliki asosiasi pengusaha untuk dapat menyalurkan dan menyampaikan aspirasi usahanya, bahkan juga sekaligus sebagai wahana bagi pendekatan (lobby) politik dan meningkatkan keunggulan posisinya dalam berbagai kebijakan pemerintah.  Asosiasi tersebut juga dapat dipergunakan untuk melakukan negosiasi usaha, wahana pengembangan kemampuan, bahkan dalam rangka mengembangkan hubungan internasional.  Dalam hal ini asosiasi atau lembaga yang dapat menjadi wahana bagi penyaluran aspirasi koperasi  relatif terbatas.  Hubungan keorganisasian vertikal (primer-sekunder : unit-pusat-gabungan-induk koperasi) tampaknya belum dapat menampung berbagai keluhan atau keinginan anggota koperasi atau koperasi itu sendiri.  Kelembagaan yang diadakan pemerintah untuk melayani koperasi juga acap kali tidak tepat sebagai tempat untuk menyalurkan aspirasi, karena sebagian aspirasi tersebut justru berhubungan dengan kepentingan pemerintah itu sendiri.  Demikian pula dengan kelembagaan gerakan koperasi yang sekian lama kurang terdengar kiprahnya.   Padahal dilihat dari jumlah dan kekuatan (ekonomi) yang dimilikinya maka anggota koperasi dan koperasi kiranya perlu diperhatikan berbagai kepentingannya.  
d. CATATAN PENUTUP
Beberapa pemikiran yang telah diajukan kiranya membutuhkan setidaknya dua prasyarat.  Pertama, pendekatan pengembangan yang harus dilakukan adalah pendekatan pengembangan kelembagaan secara partisipatif dan menghindari pengembangan yang diberdasarkan pada ‘kepatuhan’ atas arahan dari lembaga lain. Masyarakat perlu ditumbuhkan kesadarannya untuk mampu mengambil keputusan sendiri demi kepentingan mereka sendiri.  Dalam hal ini proses pendidikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai koperasi menjadi faktor kunci yang sangat menentukan.  Kedua, diperlukan kerangka pengembangan yang memberikan apresiasi terhadap keragaman lokal, yang disertai oleh berbagai dukungan tidak langsung tetapi jelas memiliki semangat kepemihakan pada koperasi dan ekonomi rakyat.  Dengan demikian strategi pengembangan yang perlu dikembangkan adalah strategi yang partisipatif.  Hal ini akan membutuhkan perubahan pendekatan yang mendasar dibandingkan dengna strategi yang selama ini diterapkan.  Rekonsptualisasi sekaligus revitalisasi peran pemerintah akan menjadi faktor yang paling menentukan dalam perspektif pengembangan partisipatif ini.---
Sumber : http://www.ekonomirakyat.org/edisi_4/artikel_4.htm

KOPERASI SEKOLAH

Pengertian
Koperasi sekolah adalah koperasi yang didirikan di lingkungan sekolah yang anggota-anggotanya terdiri atas siswa sekolah. Koperasi sekolah dapat didirikan pada berbagai tingkatan sesuai jenjang pendidikan, misalnya koperasi sekolah dasar, koperasi sekolah menengah pertama, dan seterusnya.
Dasar keputusan
Koperasi didirikan berdasarkan surat keputusan bersama antara Departemen Transmigrasi dan Koperasi dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 16 Juli 1972 Nomor 275/SKPTS/Mentranskopdan Nomor 0102/U/1983. Kemudian diterangkan lebih lanjut dalam surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja , Transmigrasi, dan Koperasi Nomor 633/SKPTS/Men/1974. Menurut surat keputusan tersebut, yang dimaksud dengan koperasi sekolah adalah koperasi yang didirikan di sekolah-sekolah SD, SMP, SMA, Madrasah, dan Pesantren.

Landasan pokok
Landasan pokok dalam perkoperasian Indonesia bersumber pada UUD 1945 pasal 33 ayat (1). Pasal ini mengandung cita-cita untuk mengembangkan perekonomian yang berasas kekeluargaan. Peraturan yang lebih terperinci tertuang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992. Undang-undang ini berisi pedoman bagi pemerintah dan masyarakat mengenai cara-cara menjalankan koperasi, termasuk koperasi sekolah. Koperasi tidak berbadan hukum. Pengurus dan pengelola koperasi sekolah dilakukan oleh para siswa di bawah bimbingan kepala sekolah dan guru-guru, terutama guru bidang studi ekonomi dan koperasi. Tanggung jawab ke luar koperasi sekolah tidak dilakukan oleh pengurus koperasi sekolah, melainkan oleh kepala sekolah. Pembinaan terhadap koperasi sekolah dilaksanakan bersama antara Kantor Menteri Negara Koperasi Usaha Kecil dan Menengah, serta Departemen Pendidikan Nasional. Koperasi sekolah tidak berbadan hukum seperti koperasi-koperasi lainnya karena siswa atau pelajar pada umumnya belum mampu melakukan tindakan hukum. Status koperasi sekolah yang dibentuk di sekolah merupakan koperasi terdaftar, tetapi tetap mendapat pengakuan sebagai perkumpulan koperasi. Pendirian Koperasi Sekolah Koperasi sekolah diharapkan menjadi sarana bagi pelajar untuk belajar melakukan usaha kecil-kecilan, mengembangkan kemampuan berorganisasi, mendorong kebiasaan untuk berinovasi, belajar menyelesaikan masalah, dan sebagainya. Untuk itu dalam mendirikan koperasi sekolah diperlukan pertimbangan agar yang diharapkan. Untuk itu dalam mendirikan koperasi sekolah, diperlukan pertimbangan-pertimbangan agar selaras dengan apa yang diharapkan.

Dasar-dasar pertimbangan pendirian koperasi sekolah
Menunjang program pembangunan pemerintah di sektor perkoperasian melalui program pendidikan sekolah.
-Menumbuhkan kesadaran berkoperasi di kalangan siswa.
-Membina rasa tanggung jawab, disiplin, setia kawan, dan jiwa koperasi.
-Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berkoperasi, agar kelak berguna di masyarakat.
-Membantu kebutuhan siswa serta mengembangkan kesejahteraan siswa di dalam dan luar sekolah.




Tujuan koperasi sekolah
Tujuan koperasi sekolah adalah memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta ikut membangun tata perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Sedangkan pembentukan koperasi sekolah di kalangan siswa dilaksanakan dalam rangka menunjang pendidikan siswa dan latihan berkoperasi. Dengan demikian, tujuan pembentukannya tidak terlepas dari tujuan pendidikan dan program pemerintah dalam menanamkan kesadaran berkoperasi sejak dini.

Struktur organisasi koperasi sekolah
  1. Struktur Organisasi Sekolah
  2. Anggota
  3. Pengurus
  4. Badan Pemeriksa
  5. Pembina dan Pengawas
  6. Badan Penasehat

Perangkat organisasi koperasi sekolah
  1. Rapat anggota koperasi sekolah
  2. Pengurus koperasi sekolah
  3. Pengawas koperasi sekolah

Dewan penasihat koperasi sekolah
  1. Untuk keperluan bimbingan pada koperasi sekolah, diangkat penasihat koperasi sekolah yang anggota-anggotanya terdiri atas :
  2. Kepala sekolah yang bersangkutan sesuai dengan jabatannya (exofficio);
  3. Guru pada sekolah yang bersangkutan; dan
  4. Salah seorang wakil persatuan orang tua murid yang memiliki pengalaman di bidang koperasi

Pelaksana harian
Pelaksana harian bertugas mengelola usaha, administrasi, dan keuangan. Pelaksana harian dapat diatur bergantian antara pengurus koperasi sekolah atau ditunjuk secara tetap atau bergantian antara siswa anggota koperasi yang tidak menduduki jabatan pengurus atau pengawas koperasi.

Rapat anggota
Rapat anggota merupakan kekuasaan tertinggi di tata kehidupan koperasi yang berarti berbagai persoalan mengenai suatu koperasi hanya ditetapkan dalam rapat anggota. Di sini para anggota dapat berbicara, memberikan usul dan pertimbangan, menyetujui suatu usul atau menolaknya, serta memberikan himbauan atau masukan yang berkenaan dengan koperasi. Oleh karena jumlah siswa terlalu banyak, maka dapat melalui perwakilan atau utusan dari kelas-kelas. Rapat Anggota Tahunan (RAT) diadakan paling sedikit sekali dalam setahun, ada pula yang mengadakan dua kali dalam satu tahun, yaitu satu kali untuk menyusun rencana kerja tahun yang akan dan yang kedua untuk membahas kebijakan pengurus selama tahun yang lampau. Agar rapat anggota tahunan tidak mengganggu jalannya kegiatan belajar mengajar di sekolah, maka rapat dapat diadakan pada mas liburan tahunan atau liburan semester. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi sekolah, rapat anggota mempunyai wewenang yang cukup besar. Wewenang tersebut misalnya:
  1. Menetapkan anggaran dasar koperasi;
  2. Menetapkan kebijakan umum koperasi;
  3. Menetapkan anggaran dasar koperasi;
  4. Menetapkan kebijakan umum koperasi;
  5. Memilih serta mengangkat pengurus koperasi;
  6. Memberhentikan pengurus; dan
  7. Mengesahkan pertanggungjawaban pengurus dalam pelaksanaan tugasnya.
Pada dasarnya, semua anggota koperasi berhak hadir dalam rapat anggota. Namun, bagi mereka yang belum memenuhi syarat keanggotaan, misalnya belum melunasi simpanan pokok tidak dibenarkan hadir dalam rapat anggota. Ada kalanya mereka diperbolehkan hadir dan mungkin juga diberi kesempatan bicara, tetapi tidak diizinkan turut dalam pengambilan keputusan. Keputusan rapat anggota diperoleh berdasarkan musyawarah mufakat. Apabila tidak diperoleh keputusan dengan cara musyawarah, maka pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak di mana setiap anggota koperasi memiliki satu suara. Selain rapat biasa, koperasi sekolah juga dapat menyelenggarakan rapat anggota luar biasa, yaitu apabila keadaan mengharuskan adanya keputusan segera yang wewenangnya ada pada rapat anggota. Rapat anggota luar biasa dapat diadakan atas permintaan sejumlah anggota koperasi atau atas keputusan pengurus. Penyelenggara rapat anggota yang dianggap sah adalah jika koperasi yang menghadiri rapat telah melebihi jumlah minimal (kuorum). Kuorum rapat anggota meliputi setengah anggota ditambah satu (lebih dari 50%). Jika tidak, maka keputusan yang diambil dianggap tidak sah dan tidak mengikat.

Hal yang dibicarakan rapat anggota tahunan
  1. Penilaian kebijaksanaan pengurus selama tahun buku yang lampau.
  2. Neraca tahunan dan perhitungan laba rugi.
  3. Penilaian laporan pengawas
  4. Menetapkan pembagian SHU
  5. Pemilihan pengurus dan pengawas
  6. Rencana kerja dan rencana anggaran belanja tahun selanjutnya
  7. Masalah-masalah yang timbul

Ciri-ciri Koperasi Sekolah
  1. Bentuknya Badan Usaha yang tidak berbadan Hukum.
  2. Anggotanya siswa-siswa sekolah tersebut.
  3. Keanggotannya selama kita masih menjadi siswa.
  4. Koperasi sekolah dibuka pada waktu istirahat.
  5. Sebagai latihan dan praktek berkoperasi.
  6. Melatih disiplin dan kerja.
  7. Menyediakan perlengkapan pelajar.
  8. Mendidik siswa hemat menabung.
  9. Tempat menyelanggarakan ekonomi dan gotong royong.

SUBIAKTO TOKOH KOPERASI PERJUANGAN ASPIRASI RAKYAT

Perlunya seorang tokoh koperasi di badan legislatif, merupakan salah satu upaya membangkitkan kembali sistem perkoperasian Indonesia yang sedikit demi sedikit perannya di masyarakat mulainya menyusut. Strategi ini mungkin tidak hanya di Jawa Tengah, tapi juga diharapkan menyebar ke seluruh provinsi Indonesia yang memiliki prinsip sama bahwa hanya dengan koperasi, kesejahteraan bangsa dapat terbagun. Pada tahap selanjutnya, gerakan koperasi bukan sekedar kekuatan ekonomi tapi juga kekuatan politik yang mampu memperjuangkan aspirasi rakyat.
Lalu bagaimana pandangan para tokoh koperasi Jateng seputar pemilihan calon legislatif yang tepat dan diharapkan mampu memperjuangkan aspirasi jutaan anggota koperasi di Jateng? Berikut petikan wawancara GEMARI dengan sejumlah tokoh kopersi Jateng di bawah ini:

A. Jazery, Anggota DPRD Jateng dan Ketua KUD Pringgondani, Kab. Demak:
“Subiakto, Penggagas lahirnya UU No 25.”
Dari 54 calon anggota DPD yang memiliki perhatian dan pernah ikut memperjuangkan koperasi, hanya Subiakto yang pantas dicalonkan. Kami tidak menemui calon lain yang bisa menyuarakan aspirasi kami sebaik dia. Terutama, Subiakto adalah orang yang paling konsen melahirkan gagasan-gagasan pembaharuan di jalun koperasi. Salah satu buah perjuangannya adalah, lahirnya UU No 25 tahun 1992 tentang koperasi simpan pinjam, sehingga bisa berkembang menjadi sistem bagi hasil seperti yang diterapkan oleh Bank-bank syariah.
Kemungkinan Subiakto terpilih itu tetap ada, karena di politik itu rumusnya kemungkinan. Sebagai mantan Menteri Koperasi, Subiakto memiliki potensi besar, meski saingan cukup berat karena mereka punya basis kuat pula di Jateng


Herman Sukirno, Ketua Dekopinwil Jateng:
“Tahu betul pahit getir membina koperasi.”
Selain sebagai mantan Menteri Koperasi dan UKM, Subiakto memiliki potensi memadai untuk dicalonkan sebagai wakil rakyat. Sebagai lulusan sarjana ekonomi, ilmu dia punya, pengalaman banyak dan wawasan ekonominya cukup luas. Dia pun tahu betul
pahit getirnya membina koperasi.
Ada banyak hasil-hasil fisik yang dimunculkan Subiakto saat menjabat sebagai Menkop antara lain, cengkeh, penyaluran pupuk hingga punya kios sendiri. Banyak yang diperjuangkan beliau hingga sangat dirasakan oleh koperasi. Dulu, setiap kecamatan ada stok pupuk, tapi karena sekarang ada persyaratan 100 ton, hanya KUD besar yang mampu berbuat.
Saya percaya dia akan membela kepentingan koperasi. Soal terpilih atau tidaknya, saya yakin beliau terpilih meski berada di urutan akhir lembar pertama. Justru dengan nomer 25 itu Subiakto ada keuntungan, karena nomer 25 bukan nomer partai dan posisi lembarannya ada di lipatan pertama.

Ryanto Chadiri, SE, Ketua Puskud Jateng dan Ketua Koperasi Maryo Mino Kab. Pekalongan:
“Kapabilitas beliau tidak diragukan.”
Saya tidak meragukan kapabilitas beliau, tapi saya justru mengkhawatirkan para pemilih Subiakto karena beliau lebih banyak tinggal di Jakarta. Kalau dia lama menetap di Jateng, mungkin tanpa sosialisasi pun bakal terpilih. Sejauh ini, Subiakto memang pantas dijagokan dalam pemilu nanti sebagai wakil dari kalangan koperasi.

H A Zaky Arslan Djunaed:
“Yang penting tidak korupsi.”
Saya tidak ingin banyak bicara soal ini, tetapi yang penting bagi saya dalam satu lembaga atau aparatnya jangan sampai melakukan tindak korupsi. Orang di mana pun harus mengikuti panutan di atasnya. Seorang pemimpin wajib menolong anggotanya. Sampai saat ini saya belum melihat tokoh pemimpin yang memiliki semangat juang seperti pejuang Islam, Umar bin Khatab ataupun Umar bin Abdul Aziz
Tetapi saya percaya, setiap orang memiliki kodrati untuk menempati pos-posnya masing-masing. Dan mungkin Subiakto, merupakan orang yang tepat menempati posnya saat ini, menjadi wakil rakyat yang bisa memperjuangkan aspirasi gerakan koperasi dan UKM di Jateng. Sekali lagi, yang penting asal jangan korupsi.


Sumber : http://www.gemari.or.id/artikel/862.shtml

PASANG SURUT PERKEMBANGAN KOPERASI DI INDONESIA DAN DI DUNIA

Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju (barat) dan negara berkembang memang sangat diametral. Di barat koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya. Di negara berkembang koperasi dirasa perlu dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di negara berkembang, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan.
Pada saat ini dengan globalisasi dan runtuhnya perekonomian sosialis di Eropa Timur serta terbukanya Afrika, maka gerakan koperasi di dunia telah mencapai suatu status yang menyatu di seluruh dunia. Dimasa lalu jangkauan pertukaran pengalaman gerakan koperasi dibatasi oleh blok politik/ekonomi, sehingga orang berbicara koperasi sering dengan pengertian berbeda. Meskipun hingga tahun 1960-an konsep gerakan koperasi belum mendapat kesepakatan secara internasional, namun dengan lahirnya Revolusi ILO-127 tahun 1966 maka dasar pengembangan koperasi mulai digunakan dengan tekanan pada saat itu adalah memanfaatkan model koperasi sebagai wahana promosi kesejahteraan masyarakat, terutama kaum pekerja yang ketika itu kental dengan sebutan kaum buruh.
Pada akhir 1980-an koperasi dunia mulai gelisah dengan proses globalisasi dan liberalisasi ekonomi dimana-mana, sehingga berbagai langkah pengkajian ulang kekuatan koperasi dilakukan. Hingga tahun 1992 Kongres ICA di Tokyo melalui pidato Presiden ICA (Lars Marcus) masih melihat perlunya koperasi melihat pengalaman swasta, bahkan laporan Sven Akheberg menganjurkan agar koperasi mengikuti layaknya “private enterprise”. Namun dalam perdebatan Tokyo melahirkan kesepakatan untuk mendalami kembali semangat koperasi dan mencari kekuatan gerakan koperasi serta kembali kepada sebab di dirikannya koperasi. Sepuluh tahun kemudian Presiden ICA saat ini Roberto Barberini menyatakan koperasi harus hidup dalam suasana untuk mendapatkan perlakuan yang sama “equal treatment” sehingga apa yang dapat dikerjakan oleh perusahaan lain juga harus terbuka bagi koperasi (ICA, 2002). Koperasi kuat karena menganut “established for last”.
Pada tahun 1995 gerakan koperasi menyelenggarakan Kongres koperasi di Manchester Inggris dan melahirkan suatu landasan baru yang dinamakan International Cooperative Identity Statement (ICIS) yang menjadi dasar tentang pengertian prinsip dan nilai dasar koperasi untuk menjawab tantangan globalisasi. Patut dicatat satu hal bahwa kerisauan tentang globalisasi dan liberalisasi perdagangan di berbagai negara terjawab oleh gerakan koperasi dengan kembali pada jati diri, namun pengertian koperasi sebagai “enterprise” dicantumkan secara eksplisit. Dengan demikian mengakhiri perdebatan apakah koperasi lembaga bisnis atau lembaga “quasi-sosial”. Dan sejak itu semangat untuk mengembangkan koperasi terus menggelora di berbagai sistim ekonomi yang semula tertutup kini terbuka.
Catatan awal : “Dari sini dapat ditarik catatan bahwa koperasi berkembang dengan keterbukaan, sehingga liberalisasi perdagangan bukan musuh koperasi”.
Di kawasan Asia Pasifik hal serupa ini juga terjadi sehingga pada tahun 1990 diadakan Konferensi Pertama Para Menteri-Menteri yang bertanggung jawab dibidang koperasi di Sydney, Australia. Pertemuan ini adalah kejadian kali pertama untuk menjembatani aspirasi gerakan koperasi yang dimotori oleh ICA-Regional Office of The Asian dan Pacific dengan pemerintah. Pertemuan ini telah melicinkan jalan bagi komunikasi dua arah dan menjadi pertemuan regional yang reguler setelah Konferensi ke II di Jakarta pada tahun 1992. Pesan Jakarta yang terpenting adalah hubungan pemerintah dan gerakan koperasi terjadi karena kesamaan tujuan antara negara dan gerakan koperasi, namun harus diingat program bersama tidak harus mematikan inisiatif dan kemurnian koperasi. Pesan kedua adalah kerjasama antara koperasi dan swasta (secara khusus disebut penjualan saham kepada koperasi) boleh dilakukan sepanjang tidak menimbulkan erosi pada prinsip dan nilai dasar koperasi.

Pengalaman Koperasi Di Indonesia

Di Indonesia pengenalan koperasi memang dilakukan oleh dorongan pemerintah, bahkan sejak pemerintahan penjajahan Belanda telah mulai diperkenalkan. Gerakan koperasi sendiri mendeklarasikan sebagai suatu gerakan sudah dimulai sejak tanggal 12 Juli 1947 melalui Kongres Koperasi di Tasikmalaya. Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi. Paling tidak dengan dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di Indonesia telah mencatat tiga pola pengembangan koperasi. Secara khusus pemerintah memerankan fungsi “regulatory” dan “development” secara sekaligus (Shankar 2002). Ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu Program pembangunan secara sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD ,Lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; dan Perusahaan baik milik negara maupun swasta dalam koperasi karyawan. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya.
Selama ini “koperasi” di­kem­bangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan distribusi yang memberikan lapangan kerja  terbesar ba­gi penduduk Indonesia. Sebagai contoh sebagian besar KUD  sebagai koperasi program  di sektor pertanian didukung dengan program pem­bangunan  untuk membangun KUD. Disisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan pertanian untuk swasembada beras seperti yang se­lama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam politik  pem­bangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah bahkan bank pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan beras pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh). Sehingga nasib koperasi harus memikul beban kegagalan program, sementara koperasi yang berswadaya praktis tersisihkan dari perhatian berbagai kalangan termasuk para peneliti dan media masa. Dalam pandangan pengamatan internasional Indonesia mengikuti lazimnya pemerintah di Asia yang melibatkan koperasi secara terbatas seperti disektor pertanian (Sharma, 1992).
Sejarah kelahiran koperasi di dunia yang melahirkan model-model keberhasilan umumnya berangkat dari tiga kutub besar, yaitu konsumen seperti di Inggris, kredit seperti yang terjadi di Perancis dan Belanda kemudian produsen yang berkembang pesat di daratan Amerika maupun di Eropa juga cukup maju. Namun ketika koperasi-koperasi tersebut akhirnya mencapai kemajuan dapat dijelaskan bahwa pendapatan anggota yang digambarkan oleh masyarakat pada umumnya telah melewati garis kemiskinan. Contoh pada saat Revolusi Industri pendapatan/anggota di Inggris sudah berada pada sekitar US$ 500,- atau di Denmark pada saat revolusi pendidikan dimulai pendapatan per kapita di Denmark berada pada kisaran US$ 350,-. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya dukungan belanja rumah tangga baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen mampu menunjang kelayakan bisnis perusahaan koperasi. Pada akhirnya penjumlahan keseluruhan transaksi para anggota harus menghasilkan suatu volume penjualan yang mampu mendapatkan penerimaan koperasi yang layak dimana hal ini ditentukan oleh rata-rata tingkat pendapatan atau skala kegiatan ekonomi anggota.
Didaratan Eropa koperasi tumbuh melalui koperasi kredit dan koperasi konsumen yang kuat hingga disegani oleh berbagai kekuatan. Bahkan 2 (dua) bank terbesar di Eropa milik koperasi yakni “Credit Agricole” di Perancis, RABO-Bank di Netherlands Nurinchukin bank di Jepang dan lain-lain. Disamping itu hampir di setiap negara menunjukkan adanya koperasi kredit yang kuat seperti Credit Union di Amerika Utara dan lain-lain. Kredit sebagai kebutuhan universal bagi umat manusia terlepas dari kedudukannya sebagai produsen maupun konsumen dan penerima penghasilan tetap atau bukan adalah “potensial customer-member” dari koperasi kredit.
Di manapun baik di negara berkembang maupun di negara maju kita selalu disuguhkan contoh koperasi yang berhasil, namun ada kesamaan universal yaitu koperasi peternak sapi perah dan koperasi produsen susu, selalu menjadi contoh sukses dimana-mana. Secara spesial terdapat  contoh yang lain seperti produsen gandum di daratan Australia, produsen kedele di Amerika Utara dan Selatan hingga petani tebu di India yang menyamai kartel produsen. Keberhasilan universal koperasi produsen susu, baik besar maupun kecil, di negara maju dan berkembang nampaknya terletak pada keserasian struktur pasar dengan kehadiran koperasi, dengan demikian koperasi terbukti merupakan kerjasama pasar yang tangguh untuk menghadapi ketidakadilan pasar. Corak ketergantungan yang tinggi kegiatan produksi yang teratur dan kontinyu menjadikan hubungan antara anggota dan koperasi sangat kukuh.
Di negara berkembang, termasuk Indonesia, transparansi struktural tidak berjalan seperti yang dialami oleh negara industri di Barat, upah buruh di pedesaan secara rill telah naik ketika pengangguran meluas sehingga terjadi Lompatan ke sektor jasa terutama sektor usaha mikro dan informal (Oshima, 1982). Oleh karena itu kita memiliki kelompok penyedia jasa terutama disektor perdagangan seperti warung dan pedagang pasar yang jumlahnya mencapai lebih dari 6 juta unit dan setiap hari memerlukan barang dagangan. Potensi sektor ini cukup besar, tetapi belum ada referensi dari pengalaman dunia. Koperasi yang berhasil di bidang ritel di dunia adalah sistem pengadaan dan distribusi barang terutama di negara-negara berkembang “user” atau anggotanya adalah para pedagang kecil sehingga model ini harus dikembangkan sendiri oleh negara berkembang.
Koperasi selain sebagai organisasi ekonomi juga merupakan organisasi pendidikan dan pada awalnya koperasi maju ditopang oleh tingkat pendidikan anggota yang memudahkan lahirnya kesadaran dan tanggung jawab bersama dalam sistem demokrasi dan tumbuhnya kontrol sosial yang menjadi syarat berlangsungnya pengawasan oleh anggota koperasi. Oleh karena itu kemajuan koperasi juga didasari oleh tingkat perkembangan pendidikan dari masyarakat dimana diperlukan koperasi. Pada saat ini masalah pendidikan bukan lagi hambatan karena rata-rata pendidikan penduduk dimana telah meningkat. Bahkan teknologi informasi telah turut mendidik masyarakat, meskipun juga ada dampak negatifnya.
Potret Koperasi Indonesia
Sampai dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil. Satu catatan yang perlu di ingat reformasi yang ditandai dengan pencabutan Inpres 4/1984 tentang KUD telah melahirkan gairah masyarakat untuk mengorganisasi kegiatan ekonomi yang melalui koperasi. 
Secara historis pengembangan koperasi di Indonesia yang telah digerakan melalui dukungan kuat program  pemerintah yang telah dijalankan dalam waktu lama, dan tidak mudah ke luar dari kungkungan pengalaman ter­sebut. Jika semula ketergantungan terhadap captive market program menjadi sumber pertumbuhan, maka pergeseran ke arah peran swasta  menjadi tantangan baru bagi lahirnya pesaing-pesaing usaha  terutama KUD. Meskipun KUD harus berjuang untuk menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi, namun sumbangan terbesar KUD adalah keberhasilan peningkatan produksi pertanian terutama pangan (Anne Both, 1990), disamping sumbangan dalam melahirkan kader wirausaha karena telah menikmati latihan dengan mengurus dan mengelola KUD (Revolusi penggilingan kecil dan wirausahawan pribumi di desa).
Jika melihat posisi koperasi pada hari ini sebenarnya masih cukup besar harapan kita kepada koperasi. Memasuki tahun 2000 posisi koperasi Indonesia pada dasarnya justru didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara 55-60 persen dari keseluruhan aset koperasi. Sementara itu dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-akhir ini posisi koperasi dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah BRI-unit desa sebesar 46% dari KSP/USP dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.
Mengenai jumlah koperasi yang meningkat dua kali lipat dalam waktu 3 tahun 1998 –2001, pada dasarnya tumbuh sebagai tanggapan  terhadap dibukanya secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres 18/1998. Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan pada saat ini sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi. Kesulitannya pengorganisasian koperasi tidak lagi taat pada penjenisan koperasi sesuai prinsip dasar pendirian koperasi atau insentif terhadap koperasi. Keadaan ini menimbulkan kesulitan pada pengembangan aliansi bisnis maupun pengembangan usaha koperasi kearah penyatuan vertical maupun horizontal. Oleh karena itu jenjang pengorganisasian yang lebih tinggi harus mendorong kembalinya pola spesialisasi koperasi. Di dunia masih tetap mendasarkan tiga varian jenis koperasi yaitu konsumen, produsen dan kredit serta akhir-akhir ini berkembang jasa lainnya.
Struktur organisasi koperasi Indonesia mirip organisasi pemerintah/lembaga kemasyarakatan yang terstruktur dari primer sampai tingkat nasional. Hal ini  telah menunjukkan kurang efektif nya peran organisasi sekunder dalam membantu koperasi primer. Tidak jarang menjadi instrumen eksploitasi sumberdaya dari daerah pengumpulan. Fenomena ini dimasa datang harus diubah karena adanya perubahan orientasi bisnis yang berkembang dengan globalisasi. Untuk mengubah arah ini hanya mampu dilakukan bila penataan mulai diletakkan pada daerah otonom.
Koperasi Dalam Era Otonomi Daerah
Implementasi undang-undang otonomi  daerah, akan mem­berikan dampak positif bagi koperasi dalam hal alokasi sum­ber daya alam dan pelayanan  pembinaan lainnya. Namun kope­rasi akan semakin menghadapi masalah  yang lebih intensif de­ngan pemerintah daerah dalam bentuk penempatan lokasi  inves­tasi  dan skala kegiatan koperasi . Karena azas efisiensi  akan mendesak koperasi untuk membangun jaringan  yang luas dan mungkin melampaui batas daerah otonom. Peranan advo­kasi oleh gerakan koperasi  untuk memberikan orientasi kepa­da pemerintah di daerah semakin penting. Dengan demikian peranan pemerintah di tingkat propinsi yang diserahi tugas untuk pengembangan koperasi  harus mampu menjalankan fung­si intermediasi semacam ini. Mungkin juga dalam hal lain yang berkaitan dengan pemanfaatan infrastruktur daerah yang semula menjadi kewenangan pusat.
Peranan pengembangan sistem lembaga keuangan koperasi di tingkat Kabupaten / Kota sebagai daerah otonom menjadi sangat penting. Lembaga keuangan koperasi yang kokoh di daerah otonom akan dapat menjangkau lapisan bawah dari ekonomi rakyat. Disamping itu juga akan mampu berperan menahan arus keluar sumber keuangan daerah. Berbagai studi menunjukan bahwa lembaga keuangan yang berbasis daerah akan lebih mampu menahan arus kapital keluar, sementara sistem perbankan yang sentralistik mendorong pengawasan modal dari secara tidak sehat.
Dukungan yang diperlukan bagi koperasi untuk mengha­dapi berbagai rasionalisasi adalah keberadaan lembaga jaminan kre­dit  bagi koperasi dan usaha  kecil  di daerah. Dengan demi­kian kehadiran lembaga jaminan akan menjadi elemen terpenting untuk percepatan perkembangan koperasi  di dae­rah. Lembaga jaminan kredit yang dapat dikembangkan Pemerintah  Daerah dalam bentuk patungan dengan stockholder yang luas. Hal ini akan dapat mendesentralisasi pengem­bangan ekonomi rakyat  dan dalam jangka panjang  akan me­num­buhkan kemandirian daerah untuk mengarahkan aliran uang di masing-masing daerah. Dalam jangka menengah kope­rasi juga perlu memikirkan asuransi bagi para penabung.
Potensi koperasi pada saat ini sudah mampu untuk memulai gerakan koperasi  yang otonom, namun fokus bisnis koperasi harus diarahkan pada ciri universalitas kebutuhan yang tinggi seperti jasa  keuangan, pelayanan  infrastruktur serta pembelian bersama. Dengan otonomi  selain peluang untuk memanfaatkan potensi  setempat juga terdapat potensi benturan yang harus diselesaikan di tingkat daerah. Dalam hal ini konsolidasi potensi  keuangan, pengem­bangan jaringan  informasi  serta pengembangan pusat inovasi dan teknologi  merupakan kebutuhan pendukung untuk kuat­nya kehadiran koperasi. Pemerintah  di daerah dapat mendo­rong pengem­bang­an lembaga penjamin kredit  di daerah.
Pemusatan koperasi di bidang jasa keuangan sangat tepat untuk dilakukan pada tingkat kabupaten/kota atau “kabupaten dan kota” agar menjaga arus dana menjadi lebih seimbang dan memperhatikan kepentingan daerah (masyarakat setempat). Fungsi pusat koperasi jasa keuangan ini selain menjaga likuiditas juga dapat memainkan peran pengawasan dan perbaikan manajemen hingga pengembangan sistem asuransi tabungan yang dapat diintegrasikan dalam sistem asuransi secara nasional.
Pendekatan pengembangan koperasi sebagai instrumen pembangunan terbukti menimbulkan kelemahan dalam menjadikan dirinya sebagai koperasi yang memegang prinsip-prinsip koperasi dan sebagai badan usaha yang kompetitif. Reformasi kelembagaan koperasi menuju koperasi dengan jatidirinya akan menjadi agenda panjang yang harus dilalui oleh koperasi di Indonesia.
Dalam kerangka otonomi daerah perlu penataan lembaga keuangan koperasi (koperasi simpan pinjam) untuk memperkokoh pembiayaan kegiatan ekonomi di lapisan terbawah dan menahan arus ke luar potensi sumberdaya lokal yang masih diperlukan. Pembenahan ini akan merupakan elemen penting dalam membangun sistem pembiayaan mikro di tanah air yang merupakan tulang punggung gerakan pemberdayaan ekonomi rakyat



Sumber : http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/10/pasang-surut-perkembangan-koperasi-di-dunia-dan-indonesia/

Perbandingan Koperasi Indonesia dengan Negara Lain

Jenis Badan Usaha Dan Kegiatan Ekonomi di Indonesia
1.Jenis-Jenis Usaha Dalam Bidang Ekonomi
a. Agraris
Usaha dalam bidang agraris menggunakan lahan tanah sebagai faktor produksi utama. Misalnya pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan.
Bidang agraris dapat menghasilkan bahan pangan seperti padi, sayur, daging, ikan dan susu. Bidang ini juga dapat menghasilkan bahan baku industri seperti tebu, cokelat kelapa sawit dan kapas.
b. Industri
Usaha bidang industri merupakan jenis usaha yang mengola bahan mentah menjadi bahan jadi, bahan mentah menjadi bahan setengah jadi, dan bahan setengah jadi menjadi bahan jadi.
• Bahan mentah adalah bahan yang perlu diolah dulu agar dapat memenuhi kebutuhan, misalnya kapas dan kayu gelondongan.
• Bahan setengah jadi adalah hasil olahan dari bahan mentah tapi masih perlu diolah lagi agar siap digunakan, contoh benag bagi industri tekstil dan tepung bagi industri roti.
• Bahan jadi adalah hasil akhir proses pengolahan yang sudah siap untuk digunakan, misalnya baju, sepeda dan televisi. Contoh Industri kecil : pengrajin sepatu, mebel, alat-alat rumah tangga, dan tahu tempe. Contoh Industri besar: perusahaan tekstil, mobil, semen dan elektronik.
c. Perdagangan
Usaha dalam bidang perdagangan adalah jenis usaha menjual barang-barang produksi kepada pihak lain tanpa mengola bahan tersebut. Misalnya pedagang beras, bahan bangunan dan makanan.
d. Jasa
Usaha bidang jasa adalah jenis usaha yang tidak menghasilkan benda melainkan memberikan pelayanan kepada pihak lain sesuai kebutuhan. Misalnya guru, dokter dan paramedis.
2. Pengelolaan Usaha
a- Usaha yang dikelola sendiri/perorangan
Usaha yang dikelola sendiri merupakan usaha yang didasarkan atas kepemilikan modal secara tunggal.



  • Kelebihan
    1. Pemilik bebas mengatur usahanya
    2. Semua keuntungan dapat dinikmati sendiri
    3. Rahasia perusahaan terjamin



  • Kekurangan
    1. Modal terbatas
    2. Kemampuan tenaga pengelola terbatas
    3. Kesinambungan usaha kurang terjamin
    4. Semua resiko ditanggung sendiri
    b. Usaha Yang Di Kelola Kelompok
    1. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
    BUMN digolongkan menjadi 3 jenis yaitu
    a. Perusahaan Jawatan (Perjan)
    Perusahaan ini bertujuan pelayanan kepada masyarakat dan bukan semata-mata mencari keuntungan.
    b. Perusahaan Umum (Perum)
    Perusahan ini seluruh modalnya diperoleh dari negara. Perum bertujuan untuk melayani masyarakat dan mencari keuntungan
    c. Perusahaan Perseroan (Persero)
    Perusahaan ini modalnya terdiri atas saham-saham. Sebagian sahamnya dimiliki oleh negara dan sebagian lagi dimilik oleh pihak swasta dan luar negeri.
    2. Badan Usaha Milik Swasta (BUMS)
    a. Firma (Perusahaan Persekutuan)
    Firma adalah badan usaha yang dimiliki oleh palaing sedikit dua orang. Kemajuan Firma dan semua resiko ditanggung bersama.
    b. Persekutuan Komanditer (CV)
    CV adalah badan usaha yang modalnya dimiliki oleh beberapa orang . Pemilik modal dalam CV disebut anggota. Dalam CV terdapat dua macam keanggotaan, yaitu anggota aktif dan pasif. Anggota aktif bertanggung jawab penuh terhadap jalannya perusahaan. Anggota pasif hanya sevbatas pemilik modal.
    c. Perseroan Terbatas (PT)
    PT adalah badan usaha yang modalnya dihimpun dari beberapa orang melalui penjualan saham. Saham adalah surat tanda bukti keikutsertaan menjadi pemilik perusahaan. Setiap pemegang saham akan mendapatkan deviden yaitu laba perusahaan yang dibagikan kepada pemegang saham.
    4. Koperasi
    Koperasi adalah merupakan singkatan dari kata ko / co dan operasi / operation. Koperasi adalah suatu kumpulan orang-orang untuk bekerja sama demi kesejahteraan bersama. Berdasarkan undang-undang nomor 12 tahun 1967, koperasi indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial dan beranggotakan orang-orang, badan-badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.Koperasi bertujuan untuk menyejahterahkan anggotanya. Dilihat dari lingkunganyya koperasi dapat dibagi menjadi:
    1. Koperasi Sekolah
    2. Koperasi Pegawai Republik Indonesia
    3. KUD
    4. Koperasi Konsumsi
    5. Koperasi Simpan Pinjam
    6. Koperasi Produksi
Kegiatan Ekonomi Di Indonesia
1. Kegiatan Produksi
Produksi adalah kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan. Pihak yang melakukan kegiatan produksi disebut Produsen.
2. Kegiatan Distribusi
Distribusi adalah kegiatan menyalurkan barang dari produsen ke konsumen. Pihak yang melakukan kegitan distribusi disebut distributor.
Pihak yang melakukan distribusi antara lain:
a. Agen; pihak yang ditujukan oleh produsen untuk menyalurkan produksinya
b. Pedagang Besar; pihak yang membeli barang dengan jumlah besar kemudian dijual lagi kepada pengecer
c. Pedagang Eceran; pihak yang bmenjual barang langsung kepada konsumen
3. Kegiatan Konsumsi
Konsumsi adalah kegiatan yang menghabiskan atau menggunakan hasil produksi . Pihak yang melakukan konsumsi di sebut konsumen
Berikut di bawah ini adalah landasan koperasi indonesia yang melandasi aktifitas koprasi di indonesia.
- Landasan Idiil = Pancasila
- Landasan Mental = Setia kawan dan kesadaran diri sendiri
- Landasan Struktural dan gerak = UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1



A. Fungsi Koperasi / Koprasi
1. Sebagai urat nadi kegiatan perekonomian indonesia
2. Sebagai upaya mendemokrasikan sosial ekonomi indonesia
3. Untuk meningkatkan kesejahteraan warga negara indonesia
4. Memperkokoh perekonomian rakyat indonesia dengan jalan pembinaan koperasi



B. Peran dan Tugas Koperasi / Koprasi
1. Meningkatkan tarah hidup sederhana masyarakat indonesia
2. Mengembangkan demokrasi ekonomi di indonesia
3. Mewujudkan pendapatan masyarakat yang adil dan merata dengan cara menyatukan, membina, dan mengembangkan setiap potensi yang ada.



PERBANDINGAN KOPERASI SIMPAN PINJAM ANTARA NEGARA INDONESIA DENGAN EROPA(AMERIKA)

Koperasi simpan-pinjam adalah koperasi yang secara khusus menerima tabungan dan
memberikan pinjaman kepada para anggotanya. Koperasi semacam ini dapat dibedakan dari
koperasi lainnya, misalnya koperasi kredit, khususnya koperasi kredit pertanian yang
memberikan pinjaman dengan menggunakan dana yang berasal dari lembaga keuangan yang
lain, tidak menggunakan dana dari anggota. Koperasi pertanian di Amerika Serikat pada
umumnya berbentuk koperasi kredit1.
Berbeda dari koperasi pada umumnya, yang versi modernnya berasal dari koperasi Rochdale di
Inggris pada tahun 1844, koperasi simpan-pinjam dimulai di negara Jerman pada pertengahan
abad 19.
Tujuan dari koperasi kredit (credit union) adalah untuk mengembangkan sikap hidup hemat
diantara orang miskin serta menyelamatkan mereka dari para rentenir. Bahkan untuk saat ini pun
credit union melayani nasabah yang tidak pernah disentuh oleh lembaga keuangan yang lain.
Dua gerakan koperasi yang dimulai oleh Delitsch dan Raffeisen, meski berbeda ideologi, namun
mempunyai fungsi yang sama.
Ide koperasi kredit menyebar ke Kanada, khususnya ke daerah yang penduduknya berbahasa
Perancis, kemudian ke Amerika pada awal abad 20 dan India yang dikembangkan oleh para
pegawai pemerintahan Inggris serta ke daerah-daerah lainnya3. Motivasi Inggris untuk
mengembangkan koperasi kredit di India sama seperti di Amerika, dipengaruhi oleh
pemerintahan Belanda di Indonesia yang mempelopori Badan Kredit Kecamatan dan Unit Desa
Bank Rakyat Indonesia. Sejak tahun 1895 pemerintahan Belanda di Indonesia melakukan
eksperimen dengan membentuk berbagai lembaga simpan pinjam. Pada awalnya ada keinginan
untuk membentuk suatu koperasi, namun ide tersebut ditolak4.
Tentu saja masih ada bentuk lain dari kegiatan simpan pinjam in dan masih banyak yang tetap
berlanjut sampai sekarang yang tidak secara tegas berbentuk koperasi5. Misalnya bank bersama
(mutual bank) yang dikendalikan oleh dewan direktur yang tidak dipilih oleh para angotanya.
Sampai sekarang bentuk seperti ini masih ada, khususnya di negara-negara Anglo Saxon dan
Jerman. Beberapa koperasi kredit yang cukup penting tetap tidak terkait dengan pergerakan
credit union khususnya di India. Credit union yang tidak terkait dengan World Council of Credit
Unions (WOCCU), suatu badan internasional mengenai credit union, pada umumnya terkait
dengan International Cooperative Alliance, perserikatan koperasi internasional dan mereka juga
terkait dengan International Cooperative Banking Association. Namun demikian, koperasi kredit
di Sri Langka, serupa dengan di India, terkait dengan WOCCU. Perbedaan mendasar dari
koperasi kredit pertanian di India, Bangladesh, Thailand dan koperasi lainnya adalah perhatian
? PEG adalah sebuah proyek dengan dana United States Agency for International Development (USAID).
Pandangan-pandangan yang tercantum dalam laporan ini berasal dari pandangan penulis dan tidak semestinya
berasal dari USAID, Pemerintah Amerika Serikat ataupun Pemerintah Indonesia.
mereka yang sangat tinggi terhadap kredit pertanian. Namun koperasi semacam ini tidak
sepenuhnya berlaku sebagai lembaga keuangan.
Data dari WOCCU menunjukkan bahwa terdapat 37759 credit union yang terkait dengan
lembaga tersebut, dengan jumlah anggota lebih dari 100 juta, dan sebanyak 407 milyar dollar
tabungan (saham), kredit sebanyak 314 milyar dollar serta asset sebesar 470 milyar dollar, per
Desember 1999. Di Amerika Serikat data bulan Desember 1999 menujakkan terdapat 10628
credit union, diantaranya 10328 diasuransikan, dengan jumlah anggota 75,4 juta (jumlah
penduduk AS sekitar 270 juta), tabungan 336 milyar, kredit 271 milyar dan jumlah asset sebesar
dolar 411 milyar. Angka tersebut termasuk untuk 800 ribu koperasi kredit di Sri Langka dan
beberapa koperasi kredit khusus di Thailand7.
Angka dari WOCCU diatas tidak termasuk koperasi di India. Namun suatu sumber menyebutkan
“koperasi kredit pertanian utama” di India memiliki anggota lebih dari 139 juta dengan jumlah
koperasi lebih dari 139 ribu. Sedangkan jumlah modal saham dan tabungan hampir mencapai 1,3
trilyun rupee (sekitar 26 milyar dollar), dan kredit pertanian sebanyak 206 milyar rupee (sekitar
4-5 milyar dollar) atau sekitar 46% dari total kredit pertanian8. Sementara itu, pada bank
komersial (non-koperasi) di India terdapat 7 trilyun rupee tabungan dan 3.7 trilyun rupee kredit9
Di India juga terdapat koperasi kredit non-pertanian (urban banks) dengan jumlah tabungan
mencapai 0,6 trilyun atau 50% dari jumlah tabungan koperasi pertanian.
Apa Perbedaannya?
Perbedaan utama antara koperasi dengan bentuk usaha lainnya adalah setiap anggota memiliki
hak yang sama (satu anggota satu suara). Hal ini berbeda dengan lembaga usaha lainnya yang
memiliki variasi hak suara sesuai dengan timbangan tertentu. Modal yang diinvestasikan akan
mendapatkan keuntungan yang “normal”, namun tidak mendapatkan proporsi dari surplus
keuntungan. Banyak credit union, misalnya di AS, memiliki keanggotaan yang terbatas kepada
kelompok tertentu (“persamaan ikatan”), misalnya lingkungan rumah yang sama, anggota gereja
atau pegawai suatu perusahaan. Departemen Luar Negari AS memiliki credit union dengan aset
besar. Pembatasan ini berasal dari sejarah terbentuknya koperasi serta adanya keterbatasan
dalam aspek hukum. Namun hal ini memberikan keuntungan karena dapat mengetahui para
nasabah dengan baik dan dapat melakukan hal-hal tertentu jika diperlukan.
Kemunculan koperasi simpan-pinjam sama seperti lembaga bersama lainnya, biasanya sebagai
reaksi terhadap kepentingan sosial dari organisasi sponsor – gereja, organisasi politik atau
pemerintah. Hal ini berbeda dengan beberapa lembaga simpan-pinjam lainnya yang muncul
sebagai pendukung kegiatan perserikatan dagang dan seringkali berfungsi sebagai
asuransi/jaminan (jika ada kematian, sakit, cacat atau pemutusan hubungan kerja). Seiring
dengan semakin berkembangnya asuransi komersial, fungsi ini cenderung hilang atau menjadi
sebagian yang terpisah.
Pada umumnya, koperasi simpan-pinjam bersama di negara-negara industri muncul sebagai
reaksi terhadap kurangnya pemberian kredit dan jasa tabungan untuk orang miskin, bahkan kelas
menengah. Motivasi tersebut semakin menurun seiring dengan semakin banyaknya bank
komersial dan lembaga-lembaga keuangan besar lainnya yang menyadari bahwa berhubungan
dengan kelompok miskin dapat menghasilkan keuntungan yang cukup tinggi. Di negara-negara
berkembang, perkembangan koperasi simpan-pinjam seringkali didukung oleh pemerintah
sebagai bagian dari pembangunan nasional.
Pengaruh organisator eksternal menimbulkan kontradiksi yang cukup menarik. Organisator luar
selalu ingin mengontrol lembaga yang dibentuknya. Namun koperasi sebagai sebuah lembaga
yang demokratis tidak dapat dikontrol sepenuhnya oleh organisator tersebut. Ada 2 alasan
mengapa organisator membentuk koperasi, yaitu keinginan organisator agar lembaga yang
dibentuknya dapat menjadi mandiri dan tidak tergantung kepada organisator atau lembaga
organisator. Kedua, adanya legitimasi yang besar dalam sistem demokrasi dengan membentuk
lembaga koperasi. Inilah sebenarnya motif yang mendorong ketidaksukaan dalam pergerakan
anti-lembaga keuangan bersama. Karena bentuknya yang demokratis memberikan koperasi
legitimasi mensosialisasikan keadaan dan tetap mempunyai pengaruh yang kuat dalam sistem
kapitalis. Namun tetap terdapat kontradiksi antara kepemilikan koperasi (yang dibentuk dan
diurus secara kolektif) dengan sisten ekonomi perseorangan yang telah merusak lembaga
keuangan bersama lainnya.
Sedangkan koperasi simpan-pinjam tetap tidak terpengaruh oleh serangan para anti-lembaga
keuangan bersama karena adanya hambatan dalam peraturan maupun kekuatan internal dari
koperasi simpan-pinjam tersebut.
Pengawasan Koperasi Simpan-Pinjam Sebagai Sebuah Lembaga Keuangan.
Lembaga keuangan biasanya menjadi subyek pengawasan oleh pemerintah, baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui organisasi perdagangan. Hal ini disebabkan karena mereka
bertanggung jawab terhadap dana masyarakat serta adanya permintaan dari masyarakat agar dana
mereka terlindungi. Sarana untuk melakukan pengawasan berkembang dengan lambat dan belum
lengkap di banyak negara. Sementara itu bentuk simpanan dana masyarakatpun berubah secara
cepat sehingga sulit untuk membedakan mana yang merupakan pembayaran untuk perdagangan
“riil”. Meskipun demikian sebagian besar negara telah melarang penghimpunan dana masyarakat
oleh lembaga/individu yang tidak berwenang, kecuali yang memenuhi aturan perundangundangan.
Peraturan ini termasuk publikasi laporan keuangan secara berkala serta pemeriksaan
eksternal. Bank-bank di AS dan sebagian besar negara lainnya menggunakan standar CAMEL
(Modal, Asset, Manajemen, Ekuitas, Likuiditas), sedangkan World Council of Credit Union
menggunakan standar PEARLS (Perlindungan, Struktur Keuangan yang Efektif, Tingkat
Pengembalian, Biaya, Likuiditas, Pertumbuhan). Sebenarnya PEARLS mengukur total
perkembangan , sedangkan CAMEL hanya memfokuskan kepada kehati-hatian.
Lembaga keuangan di banyak negara tak terkecuali di AS memiliki jaminan untuk para deposan.
Hal ini disebabkan karena pemerintah merasa perlu melindungi para depositor di lembaga
manapun mereka menyimpan dananya.
Negara-negara yang mempunyai koperasi simpan-pinjam membuat ketentuan-ketentuan yang
mengatur tentang hal tersebut, namun terdapat perbedaan mendasar mengenai sejauh mana
koperasi simpan-pinjam diperbolehkan melakukan kegiatannya untuk non-anggota koperasi serta
transaksi-transaksi keuangan yang dapat mereka lakukan.
Lingkup Dari Pengawasan dan Jaminan Pemerintah untuk para Deposan Berbeda-beda
Di AS, pengawasan koperasi kredit dilakukan oleh NCUA. Jumlah dana yang dijamin sampai
dengan $100,000, sama dengan bank komersial. Keduanya medapatkan jaminan atau asuransi
yang sama. Situasi di India sedikit rumit. Pengawasan terhadap koperasi dilakukan oleh
pemerintahan setempat, namun bank sentral (The Reserve Bank of India) bersama dengan
beberapa bank sekunder juga mempunyai kendali melalui mekanisme pembiayaan yang mereka
lakukan. Tampaknya pengawasan yang dilakukan di Indonesia tidak umum, sebab hanya
dilakukan oleh Kementerian Koperasi saja dan tidak ada jaminan untuk para deposan. Di Chile,
sebagaimana yang banyak dilakukan oleh negara-negara Amerika Selatan lainnya, pengawasan
koperasi kredit dilakukan oleh Departemen Koperasi bersama dengan Menteri Perekonomian,
Bank Sentral serta Badan Pengawasan Bank dan Lembaga Keuangan.10
Secara tradisi, fokus perhatian koperasi kredit adalah tabungan, sedangkan pinjaman diberikan
hanya jika dijamin secara penuh oleh tabungan yang disimpan di koperasi. Selain Indonesia,
beberapa negara lain juga memiliki koperasi kredit yang juga berfungsi sebagai alat untuk
distribusikan pinjaman pemerintah. Koperasi di India dan negara-negara berkembang lainya,
khususnya di Asia, juga memiliki pola yang sama dengan koperasi di Indonesia. Di AS, koperasi
kredit melakukan ekspansi yang cukup besar dalam pemberian pinjaman, walaupun tetap terbatas
untuk para nasabah yang memiliki keterkaitan dengan “kelompok” sendiri. Sementara itu, bank
komersial melakukan protest mengenai “persaingan yang tidak adil” tersebut dan berusaha agar
credit union dikenakan pajak yang tinggi. Pajak semacam itu telah ditetapkan di Kanada, namun
hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap persaingan11
Di negara-negara dimana koperasinya menggunakan dana pemerintah dalam jumlah yang besar,
koperasi mengalami hal yang sama seperti yang dialami lembaga keuangan lainnyz. Tingginya
tingkat tunggakan seringkali mengancam kestabilan keuangan koperasi itu sendiri. Hal ini juga
terjadi terhadap koperasi kredit pertanian di AS dan sistem koperasi kredit di sejumlah negara di
Asia. Beberapa negara, seperti Bangladesh dan AS, mencoba untuk memperbaharui kembali
organisasi koperasi dengan harapan dapat menghindarkan koperasi dari berbagai kesulitan
seperti yang dialami di masa lampau.
Sulit untuk mengatakan apakah terdapat manfaat atau tidak dengan adanya lembaga keuangan
koperasi. Kasus yang terjadi di Indonesia dan India, koperasi tidaklah berbeda dengan bank
yang terlibat dengan pemberian kredit pedesaan, yaitu sangat didominasi oleh birokrasi dan
pemerintahan, sehingga kepemilikan secara formal menjadi tidak jelas. Sedangkan untuk
koperasi yang dikendalikan secara demokratis oleh para anggotanya, kadang-kadang oleh
sekelompok elit setempat, dapat berkembang dengan baik dan berkesinambungan. Hal diatas
tidak terjadi pada bentuk lembaga simpan-pinjam lainnya di AS dan Inggris dimana seringkali
lembaga tersebut melakukan privatisasi untuk mendapatkan peningkatan modal yang lebih tinggi
bagi para pemegang sahamnya.
Keadaan Koperasi di Indonesia
Keadaan koperasi simpan-pinjam di Indonesia cukup sulit. Meski banyak koperasi dalam posisi
kuat dan menguntungkan, namun lebih banyak lagi yang berada dalam kondisi lemah dan sangat
tergantung dana dari pemerintah. Untuk menuju keadaan yang lebih baik mungkin diperlukan
pengawasan yang lebih ketat serta membentuk asuransi deposan.
Namun kecenderungan yang terjadi sebaliknya, dengan adanya otonomi daerah, banyak koperasi
simpan pinjam yang tidak lagi melaporkan kegiatan mereka dan tidak ada mekanisme yang bisa
memaksa mereka untuk melakukan hal tersebut. Kami mengetahui bahwa saat ini ada rencana
agar koperasi simpan-pinjam memberikan laporan secara teratur, setidak-tidaknya bagi mereka
yang telah atau ingin menerima dana dari pemerintah.
Terdapat 2 kelompok besar koperasi simpan pinjam, yaitu credit union dan baitul mal wa tamwil
(BMT) yang melakukan kegiatannya di luar kerangka peraturan yang ada, meski kini mereka
sedang mengadakan perubahan
Ada Peluang Besar Untuk Koperasi Simpan-Pinjam.
Hal diatas terjadi karena adanya bias terhadap bank kecil local, meningkatnya persyaratan
permodalan bagi BPR (Bank Perkreditan Rakyat) sehingga membuka peluang yang besar bagi
koperasi simpan pinjam sebagai lembaga penyimpan dana dengan citra yang baik dan hati-hati.
Bank Rakyat Indonesia terus melakukan ekspansi di pasar ini dengan unit desanya dan bankbank
lain juga melakukan hal yang sama. Namun bank-bank tersebut hanya mampu melayani
sebagian kecil pasar saja. BPR dan LDKP (Lembaga Daerah Keuangan Pedesaan) sebenarnya
memiliki kesempatan yang baik, namun mereka memiliki keterbatasan karena tingginya struktur
biaya. Koperasi simpan pinjam dapat menjaga biaya tetap rendah untuk kredit-kredit kecil
sehingga mereka mampu bersaing di pasar secara efektif. Jika mereka dapat terus
mengembangkan usahanya dengan baik seharusnya mereka mampu untuk menarik dana para
penyimbang dengan memberikan suku bunga uang yang menarik.Situasi koperasi tidak jelas, karena
kurangnya laporan dan pengawasan. Kami tidak mengetahui bagaimana keadaaan sesungguhnya
mengenai koperasi simpan pinjam di Indonesia. Suatu usaha yang telah kami lakukan untuk satu
propinsi tertentu menunjukkan bahwa ada kemungkinan proporsi koperasi yang dilaporkan pun
lebih kecil beberapa ratus persen dari kondisi yang sebenarnya. Sebuah studi terakhir yang
dilakukan oleh GTZ (Jerman bantu teknis) memperlihatkan beberapa indikator12. Bab 6 dari
studi tersebut berjudul “Sektor Koperasi dan Keuangan Mikro”. Kata terakhir, yaitu keuangan
mikro, berhubungan khususnya dengan koperasi Swamitra yang terkait dengan bank Bukopin
serta TPSP (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam), suatu bentuk yang serupa dengan koperasinya
Bank Rakyat Indonesia. Artikel tersebut merangkum kondisi dari aspek hukum dan perundangundangan.
Inti dari penemuan dalam artikel tersebut adalah sebagai berikut:
“Sektor koperasi di Indonesia merupakan sub-sistem keuangan mikro yang paling buruk
administrasinya, kurangnya pegawasan serta kurangnya kepercayaan terhadap laporan yang
diberikan merupakan kelemahan yang sangat mendasar. Data yang tersedia bukanlah data yang
up-to-date dan tidak dapat dijadikan pegangan untuk melakukan analisa.” Materi yang lebih
terperinci diberikan untuk Nusa Tenggara Barat. Proporsi kegiatan yang didanai dari deposito
hanya sebagian kecil saja, dibandingkan dengan daerah lain. Namun secara keselurahan normalnormal
saja.
Laporan tersebut menyimpulkan: “Peraturan baru tentang koperasi menyebabkan meningkatnya
peluang bagi koperasi untuk berkembang dan berdikari. Terdapat ketentuan mengenai
pengawasan dan keuangan yang sehat sehingga dapat mendorong perkembangan koperasi yang
lebih baik lagi. Namun demikian, terdapat sejumlah masalah yang sangat penting yaitu
mewujudkan peraturan tersebut ke tataran praktis.
“Hal penting lainnya adalah sejumlah peraturan yang ada tidak terwujud dalam praktek dan yang
lebih penting lagi kantor wilayah menteri koperasi setempat tidak dapat melaksanakannya secara
efektif. Sanksi berupa pencabutan izin usaha merupakan tindakan yang tidak biasa kepada
koperasi simpan-pinjam yang bermasalah. Meski koperasi tidak memberikan laporan sesuai
jadwal yang ditemukan, tidak ada tindakan yang diambil oleh kantor Manteri Koperasi mengenai
hal tersebut. Kelemahan utama dari sistem koperasi adalah tidak adanya pengawasan dan
penegakkan hukum.
SUMBER : http://imasmasriahprasetya.wordpress.com/2010/11/01/perbandingan-koperasi-indonesia-dengan-negara-lain/